Jumat, 21 September 2012

Al-quran dan hadis sebagai sumber ajaran islam


SUMBER AJARAN
ISLAM

Dasar Penggunaan Sumber Agama Islam didasarkan
Ayat Al-qur‟an Surat An-Nisa (5) : 59 yang artinya:
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasulmu. Dan ulil amri
diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan rasul (sunah). Jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian lebih baik bagimu dan lebih
baik akibatnya.” (Qs,an-Nisa,4:59).

Al Qur’an
 Secara etimologis, kata Al Qur‟an berasal dari bahasa Arab al-qur’an yang berarti
bacaan.
 Menurut istilah, Al Qur‟an = sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW melalui malaikat jibril dengan menggunakan bahasa arab sebagai
hijjah (bukti) atas kerasulan Nabi Muhammad SAW dan sebagai pedoman hidup bagi
manusia serta sebagai media dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
membacanya.Next..
 Menurut al Syaukani (dalam Amir Syarifuddin, 1997, I: 47), Al Qur‟an yaitu kalam Allah yang
diturunkan melalui Nabi SAW, tertulis dalam mushhaf, dan dinukilkan secara mutawatir.

 menurut Ibnu Subki (dalam Amir Syarifuddin, 1997, I: 47),  Al Qur‟an adalah lafazh yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung mukjizat pada setiap suratnya,
yang dinilai ibadah membacanya.

Unsur-unsur pokok yang menjelaskan hakikatAl Qur‟an

 Merupakan kalam Allah yang berbentuk lafazh (sekaligus makna)
 Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
 Menggunakan bahasa Arab.
 Mengandung mu‟jizat pada setiap ayat dan
suratnya.
 Tertulis dalam mushhaf.
 Membaca Al Qur‟an bernilai ibadah.
 Ayat-ayat Al Qur‟an dinukil secara mutawatir
(tidak diragukan keautentikannya).

Cara-cara Al Qur’an Diwahyukan
 Allah berkomunikasi dengan manusia, termasuk para nabi dan rasul dengan tiga
cara, yaitu bisikan ke dalam hati (wahyu),  dari balik tabir, dan utusan yang diberi
wewenang oleh Allah untuk penyampaikan pesan ketuhanan kepada orang yang
dikehendaki-Nya.Cara Nabi Muhammad dalam menerima wahyu
 Malaikat memasukkan wahyu dalam hati Nabi.
 Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang mengucapkan
kata-kata kepada Nabi sehingga Nabi mengetahui dan hafal benar kata-kata itu.
 Wahyu datang kepada Nabi seperti gemerincing lonceng. Cara ini paling berat
dirasakan oleh Nabi.
 Malaikat menampakkan dirinya dalam wujud aslinya.

Pembagian Ayat-ayat Al Qur’an
1. Periode ketika Nabi masih berada di Makah.
 Ayat Al Qur‟an yang turun disebut ayat Makiyyah.
 Ciri : surahnya pendek-pendek, didahului dengan kata ya ayyuhannas, berisi masalah keimanan,  ancaman dan pahala, kisah-kisah umat terdahulu,  dan budi pekerti.
2. Periode ketika Nabi sudah hujrah ke Madinnah.
 Ayat Al Qur‟an yang turun disebut ayat Madaniyah.
 Ciri : surahnya panjang-panjang, didahului dengan ya ayyuhalladzina amanu, berisi tentang hukumhukum syariat.

Isi Al Qur’an
 Prinsip-prinsip aqidah, syariah, dan akhlak.
 Janji-janji dan ancamanAllah.
 Kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
 Hal-hal yang akan terjadi di masa datang.
 Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
 Sunatullah atau hukum Allah yang mengikat pada keseluruhan ciptaan-Nya.


Fungsi Al Qur’an
 Hudan yaitu petunjuk bagi umat manusia.
 Rahmat artinya kasih sayang Allah kepada umat manusia.
 Bayyinah yaitu bukti penjelasan tentang suatu kebenaran.
 Furqan yaitu sebagai pembeda antara yang  hak dan batil, benar dan salah, halal dan haram, indah dan jelek, serta yang dilarang dan yang diperintahkan.
 Mau‟izhah atau pelajaran bagi manusia.
 Syifa‟ artinya obat untuk penyakit hati.Next…
 Tibyan yaitu sebagai penjelasan terhadap segala
sesuatu yang disampaikan Allah.
 Busyra yaitu sebagai kabar gembira bagi orangorang yang berbuat baik.
 Tafshil yaitu memberikan penjelasan secara rinci
sehingga dapat dilaksanakan sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Allah.
 Hakim yaitu sumber kebijaksanaan.
 Mushaddiq yaitu membenarkan isi kitab-kitab yang
datang sebelumnya.
 Muhaimin yaitu batu ujian (penguji) bagi kitabkitab sebelumnya.

Kedudukan Al-Quran
• Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam,baik yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,hubungan manusia dengan Allah SWT,hubungan manusia dengan sesamanya,dan hubungan manusia dengan alam.

Pengertian Al Sunnah / Al Hadis
 Etimologis : kata sunah berasal dari kata berbahasa arab sunnah yang berarti cara, adat istiadat (kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibeda-bedakan antara yang baik dan yang buruk
 Terminologi : Menurut ahli hadis, sunnah berarti sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW yang berupa perkataan,  perbuatan, penetapan, sifat, dan perjalanan hidup beliau baik pada waktu sebelum diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya.

Bagian-bagian Al Sunnah / Al Hadis
 Rawi : orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya).
 Matan : materi atau isi dari suatu hadis.
 Sanad : jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi SAW.

Klasifikasi Al Sunnah / Al Hadis Berdasarkan aspek bentuk :
 Sunnah qauliyah : ucapan Nabi yang didengar oleh para sahabat dan disampaikan kepada orang lain.
 Sunnah fi‟liyah : perbuatan Nabi yang dilihat para sahabat dan disampaikan kepada orang
lain dengan ucapan mereka.
 Sunnah taqririyah : perbuatan sahabat atau ucapannya yang dilakukan di depan Nabi yang dibiarkan begitu saja oleh Nabi tanpa dilarang atau disuruh.Berdasarkan jumlah sanad atau perawi yang terlibat dalam periwayatannya
 Sunnah mutawatir : sunnah yang  disampaikan secara berkesinambungan yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berdusta
 Sunnah masyhur : sunnah yang  diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang  tidak mencapai batasan mutawatir danmenjadi mutawatir pada generasi setelahsahabat
. Sunnah ahad :  sunnah yang diriwayatkan oleh seorang perawi, dua orang perawi atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sunnah mutawatir.

Berdasarkan aspek kualitasnya (diterima/ditolak)
 Sunnah shahih
Syaratnya :
◦ Sanadnya bersambung
◦ Diriwayatkan oleh perawi yang adil
◦ Perawinya kuat hafalannya
◦ Hadisnya tidak janggal
◦ Hadisnya terhindar dari cacat.
 Sunnah hasan: sunnah yang memiliki semua persyaratan sunnah shahih kecuali para
perawinya, seluruhnya atau sebagiannya kurang hafalannya.
 Sunnah dla‟i: sunnah yang tidak memiliki sifat-sifat untuk dapat diterima atau sunnah
yang tidak memiliki sifat sunnah shahih dan hasan

Fungsi Al Sunnah / Al Hadis
 Menetapkan dan menguatkan hukum-hukumyang sudah ditetapkan oleh Al Qur‟an
 Merinci dan menafsirkan ayat al Qur‟an yang masih global (bayan tafshil), membatasi atat
Al Qur‟an yang masih muthlaq/umum (bayantaqyid), dan mengkhususkan ayat Al Qur‟an
yang masih umum (bayan takhshish).
 Menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al Qur‟an

Kedudukan Al Hadis
Para ulama Islam berpendapat bahwa hadis menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an.Mereka beralasan kepada dalil-dalil Al-Qur’an surah Ali-’Imran,3:132,surah Al-Ahzab,33:36 dan Al-Hasyr,59:7,serta hadis riwayat Turmuzi dan Abu Daud yang berisi dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal tentang sumber hukum Islam.

Pengertian Ijtihad
 Etimologis : kata ijthad itu berasal dari  bahasa Arab yang artinya penumpahan  segala upaya dan kemampuan.
 terminologis: ulama ushul mendefinisikan  ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam hukum syara‟ yang bersifat amaliyah. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.Dasar Penggunaan Ijtihad
 Dasar hukum dibolehkannya ijtihad adalah al-Qur‟an, sunnah, dan logika.
 Dasarnya Q.S. an-Nisa‟ (5): 59 yang berisi perintah untuk taat kepada Allah (dengan al-Qur‟an sebagai sumber hukum), taat kepada Rasul-Nya (dengan Sunnah sebagai pedoman), dan taat kepada ulul amri, serta perintah untuk mengembalikan hal-hal yang dipertikaikan kepada Allah(al-Qur‟an) dan Rasul-Nya (Sunnah).

Kedudukan Ijtihad
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadis.Dalilnya adalah Al-Qur’an dan Hadis.Allah SWT berfirman:Artinya:”Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu (sekalian) berada maka palingkanlah wajahmu ke arahnya.”(Q.S.Al-Baqarah,2:150)

Persyaratan Melakukan Ijtihad
 Menguasai “ilmu alat”
 Menguasai al-Qur‟an yang merupakan sumber pokok hukum Islam
 Menguasai Sunnah atau hadis Nabi sebagai sumber hukum Islam kedua
 Mengetahui ijma‟ ulama
 Mengetahui qiyas
 Mengetahui maqasyid al-syari‟ah
 Mengetahui ushul fiqih
 Mengetahui ilmu pengetahuan dan teknologiLapangan Ijtihad
 Masalah yang ditunjukkan oleh nash yang zhanniy (tidak pasti), baik dari segi keberadaannya (wurud) maupun dari segi menunjukkan terhadap hukum (dalalah).
 Masalah baru yang belum ditegaskan hukumnya oleh nash.
 Masalah baru yang belum di-ijma‟kan.
 Masalah yang diketahui illat hukumnya, seperti muamalah.Metode-Metode Ijtihad
 Ijma’
 Qiyas
 Istihsan
 Mashlahah mursalah
 Istishhab
 Madzhab shahabi
 Syar’u man qablana
 Saddu al-dzari’ah

Alquran dan Hadis sebagai Sumber Hukum Islam
Walaupun Alquran dan Hadis merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam, namun ajaran-ajaran yang terdapat dalam kedua sumber tersebut tidak dapat pula dipahami dengan baik, apabila tidak adanya ijtihad para pakar di bidang ini untuk mengemukakan maksud dari ajaran-ajaran yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Hal ini dipandang penting agar para penstudi dan masyarakat muslim tidak salah memahami Alquran dan hadisOleh karena kita pun harus mengetahui dan mengenal sumber hukum Islam ini

Dalam ilmu ushul fikih, ada istilah yang biasa kita sebut “sumber”, “dalil” dan “metode”. Ketiga istilah sering digunakan secara tumpang tindih yang akhirnya menimbulkan pengertian yang rancu. Oleh karena itu pula, sebelum menguraikan tentang Alquran dan hadis, maka yang diuraikan terlebih dahulu adalah mengenai sumber, dalil dan metode.  

A.        Pengertian Sumber, Metode dan Dalil

Kata sumber dalam bahasa arabnya adalah (مصدر), dengan jamaknya: (مصادر). Kata sumber atau mashdar dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. [1] Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa sumber atau mashdar adalah suatu tempat yang dari segala sesuatu ini digali atau diambil. Berdasarkan hal ini, maka yang paling tepat untuk dikatakan sebagai sumber adalah Alquran dan Hadis. Selain dari keduanya, tidak dapat disebut sebagai sumber, karena hanya dari Alquran dan Hadis lah ditemukannya segala norma yang kemudian hanya dari keduanya lah segala sesuatu diambil.

Adapun metode yang dalam bahasa arabnya (منهج atau  طريقة ) bermakna “cara” atau “jalan”. Maksudnya adalah cara atau jalan untuk melakukan sesuatu baik dalam hal menemukan, menetapkan, mengkaji atau cara menggali. Karena cara atau jalan ini berkaitan dengan hukum Islam, maka cara atau jalan tersebut digunakan untuk menemukan hukum Islam. Cara atau jalan untuk menggali dan menemukan hukum Allah ini, lazimnya disebut “ushul fikih”, karena ushul fikih sendiri diartikan sebagai ilmu yang menyajikan berbagai cara atau jalan (kaidah) yang digunakan untuk menggali dan menemukan hukum Allah tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, maka teranglah bahwa yang termasuk metode adalah seperti qiyas, istihsan, ‘urf, mashlahah, istishab, dzari’ah, qaul shahaby, syar’u man qablana, termasuk juga kaidah-kaidah yang digunakan untuk memahami hukum Allah melalui kajian kebahasaan nas Alquran dan hadis) dan melalui kajian maqashid asy-syari’ah. Beberapa hal yang disebutkan di atas hanya berkedudukan sebagai metode dan bukan sebagai sumber hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan para pakar ushul fikih zaman klasik. Dikatakan demikian karena beberapa hal itu berfungsi hanya untuk digunakan atau dipakai untuk menemukan hukum Allah, bukan mencari norma hukum di dalamnya sebagaimana Alquran dan hadis.
Dengan demikian telah jelas perbedaan di antara sumber dan metode, sehingga dengan adanya kejelasan ini, kita sebagai penstudi tidak lagi “latah” menggunakan kedua istilah itu.
Sedangkan dalil yang berasal dari bahasa Arab (دلّ يدل دليلا، دلاّ، دلالة diartikan sebagai petunjuk. Maksudnya sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah. [2] Dikatakan dalam bahasa lain bahwa dalil sesuatu yang dapat kita gunakan untuk mengarahkan dalam menemukan hukum Allah atau dapat pula kita gunakan untuk memperkuat hasil galian kita tentang hukum Allah tersebut.

Dalil ditinjau dari asalnya, dalil ada dua macam:
1.    Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal dari nas langsung, yaitu Alquran dan Hadis.
2.    Dalil aqli, yaitu dalil-dalil yang berasal bukan dari nas langsung, akan tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu Ijtihad.
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan Al-Sunnah, tetapi prinsip-prinsip umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.[3]

Berdasarkan pengertian dalil di atas, maka di sini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah suatu petunjuk dalam menemukan hukum Allah. Dalil ini dapat berupa nas (Alquran dan hadis) dan dapat pula berupa rasio, logika atau akal yang digunakan untuk menemukan hukum Allah. Hal ini menunjukkan bahwa dalil memiliki dua makna yang dapat bermakna sebagai sumber hukum Islam (Alquran dan Hadis) dan dapat pula bermakna sebagai metode penggalian hukum Allah yang dikaji melalui ilmu ushul fikih. Dengan demikian, ketika ada orang mengatakan Alquran dan Hadis merupakan dalil dan ilmu ushul fikih juga disebut sebagai dalil, maka pendapat tersebut benar.  


B.  Al-quran sebagai Sumber Hukum Pertama

1.             Pengertian Alquran
Secara etimologis, Alquran adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a (قرأ) se-wazan dengan kata fu’lan (فعلأن), artinya: bacaan; berbicara tentang apa yang ditulis padanya; atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قران berarti مقرؤ , yaitu isim maf’ul objek dari kata قرأ.[4] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75): 17-18 yang artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.  Apabila kami Telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.



Arti Alquran secara terminology ditemukan dalam beberapa rumusan defenisi sebagai berikut:
1.      Menurut Syaltut, Alquran adalah; lafaz  Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kapada (jalan) yang lebih lurus.
2.      Al-Syakauni mengartikan Alquran dengan; Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir.
3.      Dafenisi Alquran yang dikemukakan Abu Zahrah ialah; Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
4.      Menurut al-Sarkhisi, Alquran adalah; Kitab yang diturunkan kapada Nabi Muhammad Saw., ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh masyhur dan dinukilkan secara mutawatir.
5.      Al-Amidi memberi defenisi Alquran; Al-kitab adalah Alquran yang diturunkan.
6.      Ibn Subki mendefenisikan Alquran; lafaz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., mengandung mukzijat setiap suratnya, yang beribadah membacanya.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi di atas dan membandingkan antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan mengenai definisi Alquran, yaitu; lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., yang dinukilkan secara mutawatir.[5]

2.      Kehujjahan Al-quran
Tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang Alquran itu sebagai Argumentasi yang kuat bagi mereka dan bahwa ia serta hukum-hukum yang wajib ditaati itu datang dari sisi Allah.
Sebagai bukti bahwa Alquran itu datang dari sisi Allah ialah ketidaksanggupan orang-orang membuat tandingannya, biar mereka itu adalah sastrawan sekalipun.
Ketika Rasulullah Saw berada di Makkah, beliau diperintahkan oleh Allah agar menjelaskan kepada orang banyak perihal Alquran dan bahwa ia adalah diluar batas kemampuan manusia.

3.      Hukum-Hukum yang terkandung dalam Alquran
Sesuai dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil dari ayat-ayat Alquran yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat, dan ketentuan yang diterapkan. Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan Allah Swt. Maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara garis besar hukum-hukum dalam Alquran dapat dibahi tiga macam.
1.      Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt. Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ushuluddin”.
2.      Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”.
3.      Hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesame manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan “ilmu Akhlak”.




C.   Hadis sebagai Sumber Hukum Kedua
1.    Pengertian Hadis

Sunnah atau hadis artinya adalah cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut istilah bahwa hadis adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya (yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa: sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah Fi’liyah (perbuatan), Sunnah Taqriryah (ketetapan).

2.    Macam-macam dan pembagian Hadits
Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
A.       Hadits mutawatir
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang banyak dan tidak mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada hadits itu, mengingat banyaknya jumlah mereka.

1)      Pembagian hadits mutawatir
-          Mutawatir lafzi, ialah hadits yang serupa lafaz dan  maknanya dari setiap rawi.
-          Mutawatir maknawi, ialah hadits yang berbagai-bagai lafaz dan makna, akan tetapi didalamnya ada satu bagian yang sama bagian yang sama tujuannya.
b.      Hadits ahad
Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tidak kebatasan hadits mutawatir. Hadits ini tidak sampai kederajat mutawatir yaitu Shahih, hasan, dhaif.
     Pembagian hadits ahad:
-          Hadits shahih ialah hadits yang berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dhabith dari orang yang seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat yang memburukkan.
-          Hadits hasan ialah hadits yang dihubungkan sanad diriwayatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya, terpelihara dari perjanjian dan bersih dari cacat yang memburukkan.
-          Hadits dhaif ialah hadits yang kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat hadits shahih dan hasan atau dalam sanadnya ada orang yang bercacat.

3.      Kedudukan dan kehujjahan Hadits
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah), ulamak tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an dalam menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan sesuatu.  kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan golongan Syiah yang tidak mengakui semua hadits yang dipandang sah oleh golongan ahlu sunnah sebab mereka hanya mengakui sahnya suatu hadits atau khabar kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli hadits mereka sendiri. Berbeda dengan ahli zahir mereka masih dapat menerimanya selama hadits itu sah menurut kriteria ilmu hadits.


4.      Hubungan Hadits dan Alquran

Al-hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

             Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dari Alquran.
             Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
a.       Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Alquran.
b.      Memberikan keterangan (bayan) terhadap ayat-ayat Alquran.
c.       Menciptakan hukum baru yang  tiada terdapat didalam Alquran.


Penutup

Dalil adalah sesuatu yang diambil daripadanya hokum syara’ mengenai perbuatan manusia. Istilah adillah al-ahkam dan al-mashadir al-tasyri’iyah lil-ahkam adalah istilah-istilah dengan makna yang sama yang dalam bahasa Indonesianya sering diterjemahkan dengan dalil-dalil hukum Islam, dasar-dasar  hukum Islam dan suber-sumber hukum Islam.
Alquran ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dalam bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril sebagai hujjah (argumentasi) bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulanNya dan sebagai pedoman bagi manusia yang dapat digunakan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat  serta sebagai media untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membacanya. As-sunnah Al-Qauliyah adalah (hadis)  ialah hadis-hadis yang berupa ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan.